Assalamualaikum Wr. Wb.
Sewaktu SD sampai SMA, kita selalu dijejali berbagai macam pelajaran, mulai dari yang bersifat eksakta, bahasa, jasmani sampai yang bersifat seni. Kita menerima pelajaran tersebut dengan terpaksa tanpa menghiraukan apakah kita menyukainya atau tidak, maupun berbakat atau tidak. Mungkin memang bagus jikalau kita mempelajari banyak hal. Akan tetapi, semakin lama pelajaran-pelajaran yang bukan merupakan bakat kita terasa menekan kita agar kita harus menguasainya. Kurikulum pendidikan Indonesia yang sekarang menggunakan KTSP mendorong para siswa agar aktif dalam setiap pelajaran. Akan tetapi, kita tidak pernah diberi kesempatan untuk mengutarakan keinginan kita mengenai pelajaran apa yang ingin kita pelajari. Kita tahu benar bahwa bakat dan ketertarikan masing-masing orang berbeda-beda. Ada yang menyukai olahraga, ada pula yang menyukai matematika. Ketertarikan itu tentu saja didorong olek bakat dan kemmapuan seseorang hingga seseorang itu menyukainya.
Sudah lama Indonesia menerapkan sistem pembelajaran yang menyeluruh dari segala aspek. Efektif atau tidak itu tergantung dari penilaian kita masing-masing. Jika dikaitkan dengan perbedaan baakt dan ketertarikan seseorang, tentu saja hal ini sangat tidak efektif. Bagaimana tidak? Coba bayangkan jika seseorang yang menyukai olahraga harus dijejali dengan pelajaran matematika yang tidak ia kuasai maupun senangi. Bayangkan bagaimana tertekannya ia karena harus mendapat nilai yang bagus di pelajaran matematika tersebut. Sungguh sangat menyiksa, bukan?
Negara-negara lain seperti Singapura tampaknya sudah selangkah lebih maju dari kita. Mereka membebaskan para siswanya untuk memilih pelajaran apa yang akan mereka pelajari di sekolah sesuai bakat dan ketertarikannya masing-masing layaknya seorang mahasiswa. Mereka mungkin berpikir bahwa mengajarkan sesuatu hal yang tidak disukai siswa adalah hal yang percuma walaupun tidak mustahil dilakukan. Tentu saja lebih banyak percumanya daripada berhasilnya. Sekolah-sekolah Singapura tidak pernah memaksakan secara sepihak bahwa seluruh pelajaran harus kita kuasai dengan baik. Kita tidak dipaksa untuk ahli dalam sains jika kita lebih ahli dalam bahasa. Kita tidak dipaksa untuk menyukai olahraga jika kita lebih tertarik pada kesenian. Kita hanya diharuskan mendalami apa yang kita kuasai dan senangi.
Orang-orang luar pun melakukannya tanpa ada pandangan melecehkan terhadap suatu bidang tertentu. Orang-orang Indonesia selalu berpandangan bahwa bila masuk IPA(dalam penjurusan SMA)pasti siswa tersebut pintar dan dapat menaikkan prestise keluarga. Padahal belum tentu siswa tersebut berbakat di IPA. Mungkin saja sebenarnya dia hanya mengikuti kehendak orang tua dan kehendak lingkungannya dengan mengabaikan IPS yang dia kuasai dan senangi, misalnya. Satu hal lagi yang perlu ditekankan adalah bahwa kepintaran tidak hanya dilihat dari satu pandangan saja, melainkan dari segala pandangan, mulai dari eksak, seni, olahraga, bahasa, sampai kemampuan bersosialisasi dengan baik. Menurut saya, kepintaran adalah kelebihan yang pasti dimiliki masing-masing orang meskipun itu berbeda-beda. Maka dari itu, tidak ada yang namanya siswa bodoh di dunia ini jika siswa tersebut tidak menguasai satu bidang tertentu.
Belum lagi, sering terjadinya pergantian kurikulum yang membuat guru maupun murid kesulitan untuk menyesuaikan diri karena berbagai macam hal. Misalnya, buku-buku yang tidak sesuai dengan kurikulum, perubahan penyampaian materi pelajaran, sampai sistem penilaian yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini tentu saja membuat proses belajar-mengajar di sekolah tambah tidak efektif lagi karena banyaknya halangan yang harus dilewati untuk memahami materi pelajaran.
Sekolah adalah wahana belajar yang seharusnya mampu memberikan kita ilmu-ilmu yang kelak dapat bermanfaat dalam kehidupan kita. Tapi, fakta yang terjadi belumlah cukup untuk membuktikan hal tersebut. Kita berharap semoga pendidikan di Indonesia dapat berjalan lebih baik lagi sehingga dapat mencetak generasi-generasi yang mampu meneruskan pembangunan negara ini. Amien
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Tp kalau ga blajar math atau aku yg benji sejarah ga belajar, aku ga akan tau apa itu sejasrah. Kadang kita skul jg untuk memilih apa yg kita suka dg mempelajari smuanya lbh dulu ^^
ReplyDeleteaku jg mikir yg sama dl. knapa gua harus blajar sejarah, geografi yg super aku benci. ahahaha
Waktu SMA dulu aku pilih jurusan BAHASA. Orang-orang yang mengenalku sebagai seorang siswa yang 'smart' selalu bertanya, "Kok kamu bisa masuk jurusan BAHASA?"
ReplyDelete20 tahun telah berlalu dan orang-orang tak jua berubah cara berpikirnya. Yah ... mau gimana lagi, bahkan banyak orang bilang bahwa Indonesia justru mundur, dan bukannya maju.
Btw, good post Aura. Keep writing and criticizing yah? :)
tergantung niatannya juga mb... :)
ReplyDeletebener setuju untuk Aura, Indonesia harus lihat pendidikan negara lain agar bisa majau,,,jangan hanya bisa menaikkan nilai tingkat kelulusan yg bikin anak2 sma stres mikirinnya..
ReplyDeletemenurut gw yg penting adalah "pelajaran mental"
ReplyDeletebiar mental2 orang Indonesia kelak bagus2, ngga bermental maling n penjahat...
Hi,
ReplyDeleteAku setuju dengan beberapa observasi Aura dan punya first hand experience. Dulu ibuku nggak patah semangat nge-les in aku fisika, kimia, dll (akhirnya patah semangat sih...aku nya bebel). Ternyata bidangku memang bukan disitu. Begitu aku masuk ke bidang yang aku suka, prestasi langsung naik. Tapi aku sih setuju kalau untuk beberapa hal, basic knowledge tentang pengetahuan umum itu semua anak harus belajar, terutama untuk anak yang masih kecil/muda. Mungkin montesorry school kebalikannya system indonesia...(nggak tau juga deh)
Thx, buat komen2nya ya.
ReplyDelete@shireishou : Betul2 kita bs tau apa yg kita sukai dg mempelajarinya dulu. Mungkin basicnya aja, jadi pas SD gitu.
@a feminist blog : Iya, org2 pintar nggak selalu menghuni jurusan IPA
@wew : setuju banget kalo niat itu penting karena smw hal berasal dari niat!
@didiet : sekitar 2 tahun lagi Q mungkin bakal stres mikirin UN SMA
@fales : pelajaran mental mungkin dah diwakili ma PKn. Tapi, itu sih kurang efektif karena cuma teori doankz. Mungkin perlu diefektifkan lagi.
@anneke : (hampir sama kayak shireishou) Belajar basicnya aja mungkin pas kita SD ya...
first .... such a brilliant quest you’ve raised! ikutan nimbrung di sela browsing buat laporan aah :) saya mau mbedain kata ”sekolah” dengan ”pendidikan”. sepintas mirip tapi kan berbeda.
ReplyDeletedan sebelumnya saya berharap banget moga2 aura baik2 aja di situ :) hehe, nggak lagi bete ma sekolah kaaan?
kalo pertanyaannya jadi ”cukupkah sekolah memfasilitasi peserta didik menjadi manusia” jawabnya, ... obviously: tidak.
by sense aja sih, sama kayak orang tua yang punya banyak anak, mana mungkin mereka bisa ngasih sesuatu yang sama kualitas dan kuantitasnya secara maksimal dalam waktu yang bersamaan kepada anak-anaknya yang heterogen?
kalo kita lihat ke teman2 di sekitar kita, pasti kan juga minat dan kebutuhan mereka bermacam-macam, ada yang suka seni, ada yang suka olahraga, ada yang mau aja disuruh ngerjain 100 soal matematika per hari, ada yang cuma bisa kalo dikasih tugas mengarang, belum lagi latar belakang ekonomi yang bikin pola pikir jadi beda-beda.
no wonder kalo sekolah itu bosenin. hehehe, jangan ditiru yah, aku dan temen-temen sma dulu juga mbolosan, apalagi deket-deket ke ujian masuk universitas (semester 2 kelas 12). kenapa gitu? karena kita merasa lebih nyaman belajar sendiri di rumah, ngulang materi-materi kelas sebelumnya, dibanding hadir dengerin guru nerangin materi kelas 12 semester 2 yang nggak diujikan di ujian univ. memang sih, itu sebenernya keliru karena materi yang kami hindari itu tetep penting buat ujian nasional. cuma, karena waktu itu kita lagi ngejar univ-nya, ya sementara mending kita belajar sendiri dulu ... dan mbolos, hehehe. sekali lagi, jangan ditiru, tar aku dikira menghasut, gawat deh. hehehe. tapi alhamdulillah waktu itu kita happy ending soalnya 90% lebih siswa masuk ugm dan 100% lulus uan juga, jadinya tahun 2005 itu sma kita rangking 1 deh di jogja :)
oke. itu soal sekolah. gimana dengan pendidikan? well, kita musti menyadari juga bahwa yang namanya belajar tu udah jadi takdir kita sebagai manusia, makanya kita juga ngga boleh hanya menyandarkan diri dari materi yang kita dapet dari kelas aja.
aku saranin baca buku if highschool is a game. buku ini fun n asik banget karena bikin kita nyadar bahwa apa yang ada sekolah itu mungkin emang penuh jebakan, tapi tetep bisa diakali. kayak ribetnya tugas-tugas dari guru itu ... anggep aja sudoku, scrabble, othello, mainan yang harus kita jalani. harus? well, gini ya, jalan kita kan masih panjang. jujur aja aku sendiri sampe di kuliahan ini juga menganggap kalo kurikulumku belum memfasilitasiku dengan sepenuhnya. tapi ketika aku ngelihat teman2 lain jurusan atau kakak/adik kelas yang berprestasi, aku jadi mikir: mereka juga pasti menghadapi tantangan, tapi mereka bisa berprestasi dan dapet respek dari orang sekitar. realistisnya: prestasi yang mereka dapet dari bersusah-susah itu bikin mereka menikmati reward, misalnya bisa nerusin pendidikan ke luar negeri, dsb.
so, boleh2 aja ngerasa nggak nyaman sama apa yang ada di sekolah. kalo bisa bikin perubahan, ubahlah (lewat osis dsb). tapi kalo nggak bisa mengubah, bertahanlah dan teruslah berprestasi, insya allah kesempatan yang lebih baik akan datang.
hehe, sori jadi panjang ... duuu malu nih menuh-menuhin lahan orang ;p
monggo kalo mau dikritik ato ditambahin :)